Kamis, 25 Agustus 2011

Ksitigarbha Bodhisattva


Ksitigarbha Bodhisattva



Ksitigarbha (Sanskrit: क्षितिगर्भ Kṣitigarbha) dikenal dalam Buddhisme di Asia Timur sebagai seorang bodhisattva, biasanya merupakan seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", atau "Rahim Bumi". Ksitigarbha terkenal dengan sumpahnya guna mengambil alih tanggung jawab atas perintah kepada seluruh mahluk di enam dunia, pada masa antara kematian BuddhaGautama (Shakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga akan sumpahnya untuk tidak mencapai pencerahan hingga seluruh neraka menjadi kosong. Oleh karena itu ia seringkali dianggap sebagai Bodhisattva akan mahluk-mahluk neraka. Biasanya ia digambarkan sebagai seorang bhikkhu dengan lingkaran cahaya mengelilingi kepalanya yang tercukur bersih, ia membawa tongkat untuk membuka paksa gerbang neraka dan permata pengabul permohonan untuk menerangi kegelapan.

Ksitigarbha adalah salah satu dari 4 bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur. 3 bodhisattva lainnya adalah Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara.
Nama lengkapnya dalam naskah China adalah((Tionghoa)), atau Bodhisattva Raja Tekad Mulia "Dizang, diucapkan sebagai Dayuan Dizang Pusa dalam bahasa Mandarin, Daigan Jizō Bosatsu dalam bahasa Jepang, Chijang Posal dalam bahasa Korea.
Ini adalah sebuah acuan akan janjinya, yang tercatat di dalam beberapa sutra, bertanggungjawab untuk mengajar semua makhluk di enam alam, pada masa antara kematian Buddha Gautama dan kebangkitan Buddha Maitreya. Karena peran penting ini, tempat suci Ksitigarbha sering kali memiliki peran utama dalam vihara-vihara Mahayana ketimuran.
Kisah tentang Ksitigarbha diceritakan dalam Sutra Tekad Agung Bodhisattva Ksitigarbha, salah satu sutra Buddhis aliran Mahayana yang paling terkenal. Sutra ini dikatakan telah diucapkan oleh Buddha menjelang akhir hidupnya dihadapan para makhluk di alam surga Trayastrimsa sebagai tanda syukur dan peringatan kepada ibunya yang tercinta, Māyādevī.  Dinyatakan bahwa praktik Ksitigarbha rasa bakti seperti sebuah kematian, yang mana pada akhirnya mengakibatkan ia membuat tekad agung untuk menyelamatkan semua makhluk.

Sebagai Gadis Suci

Dalam Sutra Ksitigarbha, Buddha menyatakan bahwa berkalpa-kalpa tahun yang lalu, Ksitigarbha adalah seorang Brahmana anak perempuan dengan nama "Gadis Suci". Ia sangat khawatir ketika ibunya meninggal, karena ia seringkali difitnah sehubungan dengan Tiga Permata.
Untuk menyelamatkannya dari penyiksaan yang luar biasa dari Neraka, gadis ini menjual apa saja yang ia miliki dan menggunakan uang tersebut untuk membeli persembahan-persembahan yang ia berikan setiap hati kepada Buddha di masanya, yang dikenal sebagai Buddha Bunga Meditasi dan Pencerahan. Dengan penuh semangat ia berdoa agar ibunya dapat terhindar dari penderitaan neraka dan meminta pertolongan dari Buddha. 
Ketika ia memohon bantuan di vihara, ia mendengar Buddha memberitahunya untuk pulang ke rumah, duduk, dan melafalkan namanya jika ia ingin mengetahui dimana ibunya berada. Ia melakukan seperti yang dianjurkan dan kesadarannya dibawa ke Alam Neraka dimana ia bertemu seorang pelindung yang memberitahunya bahwa melalui doa-doanya yang khusyuk dan persembahan-persembahannya yang tulus, ibunya telah mengumpulkan sejumlah kebajikan dan telah naik ke surga. Gadis Suci ini sangat lega dan bahagia, tapi penglihatanya akan penderitaan di neraka menyentuh hatinya. Ia bertekad untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupannya di masa yang akan datang berkalpa-kalpa lamanya untuk menyelamatkan makhluk-makhluk dari penderitaan.

Di dalam ikonografi Buddhist, Ksitigarbha biasanya digambarkan dengan kepala yang tercukur, memakai jubah bhikkhu sederhana (tidak seperti kebanyakan bodhisattva lainnya, yang berpakaian seperti bangsawan India). Di tangan kirinya, Ksitigarbha memegang permata pengabul permohonan; di tangan kanannya, ia memegang tongkat yang disebut dalam bahasa Jepang sebuah shakujo (錫杖) (tongkat bergemerincing), yang digunakan untuk memperingati para serangga dan binatang kecil lainnya akan kehadirannya, sehingga ia tidak akan secara tidak sengaja menyakiti mereka. Tongkat semacam itu secara tradisional dibawa oleh bhikhhu-bhikkhu tingkat tinggi dari vihara Buddhis negara Cina. Biasanya, kadangkala Ksitigarbha terlihat memakai sebuah mahkota yang menggambarkan lima dhyani Buddha, yang dikenakan oleh bhikkhu-bhikkhu negara Tibet dan Cina dalam ritual-ritual Tantric.
Seperti bodhisattva-bodhisattva lainnya, Ksitigarbha biasanya terlihat berdiri diatas bunga teratai, melambangkan pembebasannya dari karma roda kelahiran kembali. Wajah dan kepala Ksitigarbha juga ideal, merupakan ciri dari mata ketiga, telinga memanjang dan atribut-atribut standart lainnya dari seorang manusia yang tercerahkan.
Di Jepang, Ksitigarbha, dikenal dengan nama Jizō, atau Ojizō-sama. Ia juga dihormati sebagai salah satu dari seluruh dewa dewi orang Jepang. Patungnya terletak di daerah yang mudah terlihat, terutama di pinggir jalan dan di kuburan. Menurut adat istiadat, ia terlihat sebagai wali anak-anak, terutama anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya. Sejak tahun 1980, ia dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, jiwa yang mati sewaktu dilahirkan, keguguran atau aborsi janin, dalam ritual mizuko kuyō (水子供養). Dalam dongeng masyarakat Jepang, dikatakan bahwa jiwa para anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya tidak dapat menyeberangi Sungai Sanzu mistis seorang dirikehidupan berikutnya karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak dan karena mereka telah membuat orangtuanya menderita. Dipercaya bahwa Jizō menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari menjadi batu abadi di tepi sungai sebagai penebusan dosa, dengan menyembunyikan mereka dari para roh jahat dalam jubahnya, dan membiarkan mereka mendengar mantra-mantra.
Kadang kala, patung Jizō diletakkan oleh masyarakat disertai oleh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil, dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu penderitaan anak-anak di dunia bawah (tindakan tersebut berasal dari tradisi membangun stupa sebagai tindakan membuat kebajikan). Kadang-kadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian anak-anak atau oto, atau dengan mainan, yang diletakkan disana sebagai tanda kedukaan para orangtua agar membantu anak mereka yang telah meninggal dan berharap agar Jizō secara khusus melindungi mereka. Kadangkala, persembahan diberikan oleh para orangtua sebagai tanda terimakasih kepada Jizō karena menyelamatkan anak mereka dari penyakit serius. Wajah Jizō umumnya dibuat lebih seperti muka bayi agar menyerupai anak-anak yang ia lindungi.
Karena ia terlihat seperti penyelamat jiwa yang menderita di dunia bawah, biasanya patungnya terletak di kuburan. Ia juga dipercaya sebagai dewa pelindung wisatawan, dan di Jepang, patung Jizō diletakan di pinggir jalan sehingga mudah terlihat. Para petugas pemadam kebarakan juga dipercaya berada di bawah lindungan Jizō.

Tekad Ksitigarbha Bodhisatva
Ketika itu Bodhisattva Mahasattva Ksitigarbha berkata kepada Sang Buddha: "Yang Arya Bhagavan yang termulia! Menurut pendapatku para umat yang berada di alam Jambudvipa selalu berbuat karma buruk yang dihasilkan pikiran dan perbuatannya. Mereka mudah melepas kebaikan-kebaikan yang telah diperoleh, meninggalkan peribadatan yang selama ini telah dilaksanakan dengan baik. Sedangkan jika mereka tergoda oleh hal-hal yang buruk, segera mereka terpengaruh dan keburukan-keburukan yang mereka terima semakin hari semakin banyak pula, bagaikan orang-orang yang dibebani batu melintasi jalan berlumpur, semakin melangkah kakinya semakin terjerembab. Dalam pada itu jika bertemu dengan seorang yang bijaksana (Maitrayani) yang mau membantu meringankan bebannya sebagian atau semuanya, tokoh bijaksana itu memiliki kekuatan yang cukup dan mau membantu umat yang malang itu mengatasi perjalanan di lumpur tersebut dan beliau selalu menasehati agar dapat bertahan hingga tiba di atas jalan yang rata datar dan mawas diri supaya tidak terulang kembali ke jalan yang berat lagi.

Ksitigarbha Bodhisattva melanjutkan: "Yang Arya Bhagavan yang termulia, karma buruk yang dibuat umat manusia, asal mulanya hanya sedikit saja, namun lama kelamaan menjadi banyak tak terbilang lagi. Karena terdapat hal yang demikian itu apabila seorang umat sampai kepada ajalnya, orangtua atau sanak keluarganya perlu mengadakan puja bhakti untuk mengamalkan jasa dan menyalurkannya kepada almarhum dan membantu membuka jalan bagi almarhum. Pada saat seseorang akan meninggal, pasanglah panji atau payung sutra kuning di depan gambar Sang Buddha,dengan demikian almarhum dapat menghindari 8 macam penderitaan dan akan mencapai Surga Sukhavati, atau menyalakan pelita dengan minyak bersih yang diletakkan di atas meja atau di atas petinya, supaya makhluk yang menderita di akhirat mendapat penerangnan dan terbebaskan dari penderitaan. Keluarga almarhum boleh membaca Sutra-sutra Buddha atau menyediakan gambar Buddha atau Bodhisattva yagn digantungkan, lalu menyebut-nyebut nama Buddha atau Bodhisattva dengan suara lantang, supaya setiap nama Buddha atau Bodhisattva tertangkap indera pendengar almarhum, atau Vijnana Nya (kesadarannya) dan dapat diingatnya terus. Jika para umat yang demikian banyak membuat karma buruk selama hidupnya dan akan terjerumus ke dalam alam kesengsaraan, bnerkat jasa-jasa yang diamalkan oleh keluarganya pada saat almarhum akan meninggal dunia, maka karma buruk almarhum akan musnah semua. Seandainya keluarga almarhum tersebut beramal kebajikan selama 49 hari sejak almarhum meninggal dan jasa-jasa itu disalurkan kepada almarhum, maka almarhum tak akan terjerumus ke alam kesengsaraan, tapi akan emnikmati kebahagiaan di Surga, sedangkan keluarga yang berada di dunia itu akan memperoleh keberuntungan besar."

"Oleh karena itu,"lanjut Ksitigarbha Bodhisattva,"aku sekarang dihadapan Sang Bhagavan, Bodhisattva Mahasattva, para dewa, naga asta gatyah, kinnara serta para hadirin sekalian, memberi nasehat kepada para umat di alam Jambudvipa, dalam menghadapi kematian seseorang, jangan melakukan penyembelihan makhluk apapun dan tidak menyembah makhluk halus dan jin-jin untuk menerima sajian penyembelihan itu. Yang demikian itu tidak ada manfaat apapun bagi almarhum, melainkan karma buruk almarhum makin bertambah berat.

Seandainya di masa yang akan datang atau di masa sekarang, sebetulnya almarhum akan mendapatkan anugerah dari para suciwan dan akan dilahirkan di alam manusia atau dewa, berhubung ketika almarhum meninggal dunia, keluarganya melakukan pembunuhan yang disajikan kepada jin-jin dan setan. Mengakibatkan almarhum terlibat dalam karma buruk itu dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan keluarganya itu di akhirat sehingga almarhum terhambat dilahirkan di alam yang lebih baik. Apalagi jika mengingat almarhum ketika masih berada di dunia ini sangat sedikit menanam kebaikan-kebaikan, membuat dirinya terikat oleh karma-karma yang pernah diperbuatnya dan menerima semua akibatnya. Dengan demikian seolah-olah keluarganya telah berbuat kejam terhadapnya karena perbuatan perbuatan mereka telah menambah beratnya karma buruk almarhum." Peristiwa ini bagaikan seorang yang datang dari tempat yang jauh dan telah 3 hari kehabisan makanan dan minuman, sedangkan pundaknya masih menanggung ratusan kilo beban, tetangganya yang ditemui di perjalanan malah menambah beberapa barang, dengan demikian semakin berat saja bebannya."

Ksitigarbha Bodhisattva melanjutkan dan meyakinkan pendapatnya: "Yang Arya Bhagavan, jika umat Jambudvipa tersebut dapat membuat kebaikan dengan berpedomankan kepada ajaran Sang Buddha, meskipun kebaikan itu hanya seujung rambut atau setetes air, sebutir pasir, bahkan sebutir debu saja, hasil kebaikan itu semua diterima oleh sepembuat sendiri."

Ksitigarbha Bodhisattva selesai berbicara demikian, dalam pertemuan agung di istana Trayastrimsa terdapat seorang Grhapati bernama Mahapratibhana. Beliau telah lama mencapai Nirvana, akan tetapi dengan tubuh jelmaan sebagai seorang Grhapati, selalu hadir di sepuluh penjuru alam Buddha guna menyelamatkan para makhluk yang sengsara. Sekarang Beliau bangkit dari tempat duduknya dan merangkapkan kedua telapak tangannya seraya bertanya kepada Ksitigarbha Bodhisattva: "Yang Arya Ksitigarbha Bodhisattva! Jika ada umat Jambudvipa yang telah meninggal dan keluarganya, baik tua maupun muda mengadakan amal bhakti dengan berbagai sajian yang dipersembahkan kepada Sang Triratna dan jasa-jasanya disalurkan kepada almarhum. Apakah dengan demikian almarhum akan mendapatkan keuntungan dan kebebasana?"

"Yang Arya Grhapati yang bijak!" jawab Ksitigarbha Bodhisattva: "Berkat daya prabhava Sang Buddha, demi kepentingan semua makhluk di masa sekarang dan yang akan datang, aku akan menjawab pertanyaanmu secara singkat. Yang Arya Grhapati yang baik hati, para umat dari masa apapun, ketika mereka akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, dapat mendengar nama Buddha, nama Bodhisattva atau hanya nama Pratyekabuddha saja, tanpa peduli almarhum mempunyai karma buruk atau tidak, ia pasti dapat membebaskan dirinya."

"Jika terdapat umat baik pria atau wanita yang sewaktu masih berada di dunia tidak berbuat kebaikan, melainkan banyak berbuat karma buruk sehingga akibat karmanya banyak sekali. Meskipun keluarganya telah berbuat banyak amal dan jasa-jasanya disalurkan kepada almarhum, namum almarhum hanya mendapat sepertujuh saja dari jasa-jasa tersebut, yang 6 bagian milik keluarga yang berada di dunia. Oleh karena itu pria atau wanita di masa sekarang dan yang akan datang, pergunakanlah kesempatan selama masih sehat dan kuta untuk menanam benih-benih kebaikan sebanyak mungkin demi keberuntungan diri sendiri. Jika tidak demikian, dewa menurut Anitya akan datang sewaktu-waktu merenggut jiwa dan arwahnya terlunta di alam baka tanpa mengetahui dirinya banyak berbuat jahat atau tidak. Selama 49 hari bagaikan orang bisu dan tuli. Atau berada di berbagai bagian untuk memperdebatkan karma-karma yang pernah diperbuat selama ia berada di dunia. Apabila keputusan telah ditetapkan, ia akan menerima kelahiran berdasarkan karma-karmanya. Namun selama belum mendapat kepastian dan harus menunggu dengan berbagai perasaan tak menentu yang menggelisahkan, sungguh merisaukan. Apalagi jika telah dapat mengetahui akan terjerumus ke alam kesengsaraan! Almarhum yang belum menerima keputusan lahir entah di mana, selama 49 hari selalu mengharap-harap keluarganya membuat amal bhakti bagi dirinya, agar secepatnya almarhum terbebaskan dari alam kesengsaraan. Setelah 49 hari almarhum akan menerima keputusan berdasarkan karmanya. Apabila ia ternyata mempunyai karma yang berat, maka ia akan menerima hukuman hingga jutaan tahun dan sulit membebaskan dirinya. Apabila ia membuat karma buruk pancanantarya, jelas ia akan terjerumus ke Neraka Avici hingga ribuan kalpa dan sulit mendapat kesempatan untuk keluar!"

Ksitigarbha Bodhisattva melanjutkan: "Lagi Yang Arya Grhapati yang bijak jika umat yang berkarma buruk tersebut meninggal dunia, sanak keluarganya mengadakan amal bhakti dengan mempersembahkan sajian-sajian kepada Sang Triratna untuk membantu menyelamatkan almarhum dari alam kesengsaraan, selama persiapan dan berlangsungnya upacara Upavasatha, bekas air pencuci beras, sisa-sisa sayur masakan dll, tidak boleh sembarang dibuang di lantai, serta makanan yang dipersembahkan kepada Triratna, sebelumnya tidak boleh dimakan oleh yang menyelenggarakannya. Jika peraturan dan tatacaranya dilanggar, penyajiannya tidak memenuhi syarat kebersihan dan tidak rapi, bagi almarhum tidak akan mendatangkan manfaat apa apa, begitu pula keluarga yang menyelenggarakannya tidak akan mendapatkan kefaedahan apa apa juga. Apabila penyajiannya bersih rapi, dipersembahkan kepada sang Triratna, maka almarhum akan mendapatkan sepertujuh kebajikan, sedangkan yang menyelenggarakan akan memperoleh 6 bagian."

"Oleh karena itu Yang Arya Ghrapati yang bijak, umat di alam Jambudvipa, jika orang tuanya atau sanak keluarganya meninggal dunia, lalu mengadakan upacara upavasatha atau puja bhakti dengan sujud dan khidmat kepada Sang Triratna, baik bagi yang meninggal maupun yang masih hidup akan mendatangkan berkat."

Ketika Ksitigarbha Bodhisattva mengakhiri sabdanya, terdapat jutaan koti Nayuta Makhluk Surga dan bumi yang berasal dari dunia Jambudvipa, semua yang berada dalam pertemuan agung di istana Trayastrimsa itu tergugah bodhicittanya yang tak terhingga. Yang Arya Grhapati Mahaprabtibhanapun memberi hormat kepada Sang Buddha Sakyamuni, lalu kembali ke tempat duduknya.

Ksitigarbha Bodhisattva mempunyai hubungan batin yang erat dengan umat Jambudvipa. Ketika khotbah selesai, Sang Buddha mengucapkan sebuah gatha, demikianlah gathanya:

Kekuatan Ksitigarbha Bodhisattva sungguh luar biasa
Mengisahkannya jutaam kalpa pun tak kunjung habis!
Mendengar, melihat, dan menghormat-Nya sesaat saja,
Manfaatnya bagi dewa dan manusia tak terbatas!

Baik pria, wanita, maupun dewa, naga,
Yang akan terjerumus ke alam sengsara karena saatnya tiba,
Berkat berlindung kepada Ksatria Sejati setulus hati,
Usia bertambah, karma berat pun lenyap musnah!

Semasa kecil kehilangan cinta kasih ayah bunda,
Entah mereka berada di alam mana,
Kakak adik serta sanak keluarga.
Sejak lahir tak mengenal satu sama lain.
Dengan melukis gambar Ksatria Sejati,
Menghormat, memuja setulus hati,
Tiga atau tujuh hari memuliakan nama-Nya,
Beliau menampakkan tubuh Anantayakaya!
Menunjukkan tempat sanak keluarganya berada.
Sekalipun telah terjerumus kea lam sengsara,
Dapat ditolong-Nya terbebas dari derita!
Jika saja setia percaya teguh tak tergoyahkan,
Kelak pasti akan tercatat sebagai calon Buddha!

Jika ingin mencapai Anuttara Samyaksambodhi,
Hingga terbebaskan dari penderitaan Triloka,
Setelah tumbuh Boddhicittanya
Hormat dan pujalah dulu Ksatria Sejati ini,
Segala cita-cita segera akan terkabul,
Tiada lagi karma penghalang
Menuju kesadaran Agung!

Ada orang berhasrat mengkaji Sutra Mahayana,
Ingin menyebrangkan umat ke Pantai Bahagia,
Meskipun tekad ini besar tidak terperikan,
Tiap menghapal terlupakan, waktu terbuang percuma,
Karena karma buruk terdahulu belum terhapuskan,
Tak teringat sebait Gatha sekata Sutra.
Puja bhakti kepada Ksitigarbha Bodhisattva,
Dengan dupa, bunga, busana, makanan, minuman, serta barang berharga.
Letakkan secawan air bersih di altar Ksatria Sejati,
Satu hari satu malam kemudian minumlah dengan khidmatnya,
Setelah itu pantang daging, alkohol, dusta, dan wanita.
Dua puluh satu hari jangan membunuh sesame mahluk,
Sepenuh hatikenang Ksatria Sejati.
Dalam mimpi akan berjumpa Ksitigarbha Bodhisattva Anantayakaya,
Bangun dari mimpi keenam indera jernih bersih,
Sutra, Buddha Dharma tertanam dalam sanubari abadi,
Daya Prabhava Ksitigarbha tidak terlukiskan,
Membuat orang demikian bijak dan bestari.

Umat yang menderita miskin papa lagi berpenyakit,
Kediamannya buruk sekali, keluarganya meninggalkan pergi,
Atau selalu ketakutan di dalam mimpi,
Begitu pula mengalami kegagalan ekonomi,
Pujalah Sang Ksitigarbha sepenuh hati,
Berangsur penderitaan akan lenyap sama sekali,
Mimpi yang buruk takkan mengganggu lagi,
Sandang pangan cukup selalu dilindungi Mahluk Suci yang berbudi!
Jika harus mendaki gunung menuruni lembah, masuk hutan rimba, mengarungi lautan lepas,
Bertemu satwa buas lagi dihadang orang jahat,
Atau datang lagi Setan, Iblis serta Badai ganas,
Segala rintangan dan berbagai penderitaan,
Ingatlah Ksitigarbha Bodhisattva sebelum berangkat,
Pujalah Neliau dengan tulus ikhlas penuh khidmat,
Meskipun berada dalam kesulitan maha luar-biasa,
Sekejap sirna lenyap semua berkat Buddha Dharma.
...